Oleh: Deni Rahman, M.I.Kom

Alumnus Institute Zakat of Science Khortoum, Sudan

Ramadan merupakan bulan yang mulia dan penuh berkah. Selama bulan Ramadan, umat Islam di seluruh penjuru dunia berpuasa, beribadah dan berlomba-lomba meningkatkan aktivitas keagamaan untuk meraih ridha Allah Swt. Di antara kewajiban yang harus ditunaikan di bulan suci Ramadan adalah kewajiban berzakat. Menunaikan perintahj zakat menjadi salah satu upaya bagi kita untuk menjaga keberkahan Ramadan sekaligus membantu saudara-saudara kita yang kurung beruntung.

Dalam Islam, zakat merupakan kewajiban yang bersifat sosial karena dapat memperkokoh hubungan antara orang yang memiliki kewajiban zakat (muzakki) dan para penerima zakat (mustahik). Dalam catatan sejarah Islam, zakat telah berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan umat.

Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia memiliki potensi zakat yang begitu besar yang dapat dimanfaatkan untuk mengeluarkan saudara-saudara kita yang saat ini hidup dalam keterbatasan ekonomi. Sayangnya, hingga kini potensi zakat tersebut belum dikelola secara optimal sehingga berdampak pula terhadap peningkatan kesejahteraan umat, terutama fakir-miskin.

Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag), potensi zakat, infaq dan sedekah di Tanah Air sebesar Rp327 triliun per tahun. Meskipun demikian, hingga saat ini realisasinya baru sekitar Rp 40 triliun. Melihat potensi tersebut, maka Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) berkomitemn dan menargetkan dapat menghimpun zakat, infaq dan sedekah (ZIS) hingga Rp 41 Triliun di tahun 2024 ini.

Masalah Kemiskinan

Kemiskinan menjadi masalah utama yang sedang dihadapi oleh negera-negera di dunia.  Biasanya, orang-orang yang hidup dalam kungkungan kemiskinan akan menghadapi pelbagai persoalan, mulai dari kekurangan gizi, tingkat buta huruf yang tinggi, lingkungan yang buruk hingga tidak memiliki akses terhadap pelayanan pendidikan. Bahkan, kemiskinan juga dapat menyebabkan lahirnya perilaku kejahatan (kriminalitas).

Kemiskinan ini bukan hanya menjadi hantu yang menakutkan bagi negara-negara berkembang, melainkan juga menjadi persoalan di negara-negara maju. Karena itu, negara-negara di dunia berupaya keras untuk menekan angka kemiskinan karena dapat berdampak buruk bagi keberlangsungan pembangunan.

Untuk mengantisipasi pelbagai dampak buruk kemiskinan, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan. Namun, lagi-lagi implementasinya tidak sesuai rencana sehingga dampak terhadap penurunan kemiskinan tidak terlalu signifikan. Kalau kita merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan pada Maret 2023. Pada bulan tersebut, persentase penduduk miskin mencapai sebesar 9,36% atau mencapai 25,9 juta orang.

Didin S. Damanhuri dalam Ekonomi Politik dan Pembangunan (2018) menyatakan, Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ternyata tidak mampu memanfaatkannya dan menjadikannya negara kaya dan sejahtera. Seakan terbuai oleh keberlimpahan alam, Indonesia berjalan sangat lambat dalam mengatasi kemiskinan.

Dalam konteks inilah, dibutuhkan upaya lain untuk mengurangi angka kemiskinan, salah satunya dengan mengoptimalkan potensi zakat, infaq dan sedekah (ZIS). Zakat bukan sekadar kewajiban semata, melainkan sebagai instrumen sosial yang dapat digunakan untuk mengeluarkan umat dari jurang kemiskinan dan ketidakadilan.

Yusuf al-Qardhawi (2002) menegaskan bahwa tujuan mendasar ibadah zakat adalah untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan sosial seperti pengangguran, kemiskinan dan lain-lain. Sistem distribusi zakat merupakan solusi terhadap persoalan-persoalan tersebut dengan memberikan bantuan kepada orang miskin tanpa memandang ras, warna kulit, etnis, dan atribut-atribut keduniawian lainnya.

Banyak studi yang dilakukan para peneliti untuk melihat secara konkret dampak zakat terhadap kemiskinan. Salah satunya penelitian Irfan Syauqi Beik (2009) yang menganalisa dampak zakat terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia. Penelitian yang mengambil studi kasus di Dompet Dhuafa Republika ini, menunjukkan secara empiris bahwa zakat mampu mengurangi jumlah keluarga miskin dari 84 persen menjadi 74 persen.

Jika potensi zakat yang begitu besar itu dapat dikelola secara optimal maka akan lebih banyak lagi umat yang terberdayakan. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola zakat. Tanpa kerja sama yang solid, sangat sulit target pengumpulan zakat akan tercapai. Kalau ini yang terjadi, maka upaya menurunkan kemiskinan akan berjalan di tempat.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah meningkatkan literasi zakat masyarakat. Di sini, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan lembaga pengelola zakat lainnya perlu bersinergi untuk terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar mereka memiliki pemahaman yang komprehensif tentang zakat, infaq dan sedekah. Terakhir, perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan zakat sehingga pendistribusiannya benar-benar tertuju kepada para mustahik. Jika upaya ini dapat dilakukan secara konsisten, saya sangat yakin jumlah orang miskin di Inonesia akan turun drastis.

*Artikel ini dimuat di Republika, 5 April 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *